Wacana Cirebon menjadi provinsi baru makin menghangat ketika lima Ketua DPRD sewilayah III Cirebon, yaitu ketua-ketua DPRD Indramayu, Majalengka, Kuningan, Kota Cirebon, dan Kabupaten Cirebon mengeluarkan semacam manifes politik yang intinya mendukung wacana yang berkembang di masyarakat tentang kemungkinan Cirebon menjadi provinsi.
Dasar pemikiran dari manifes politik yang ditandatangani lima Ketua DPRD Suryana (Kota Cirebon), H Maskup Buntoro (Kabupaten Cirebon), Iwan Hendrawan (Indramayu), Ading Akhyadi (Kuningan), dan Cucup Supardja (Majalengka) adalah perlunya menata kembali (reformasi) struktur organisasi kewilayahan struktur dan manajemen birokrasi daerah dan reorientasi dan revitalisasi strategi pembangunan daerah.
"Bertitik tolak dari pemikiran macam itulah maka wacana provinsi menjadi relevan dan perlu didukung," tulis manifes itu.
Di samping dukungan dalam manifes itu lima ketua DPRD juga siap memperjuangkan secara politik terhadap ide gagasan dan pemikiran masyarakat wilayah Cirebon dalam merealisasikan pembentukan Provinsi Cirebon. Sebagai langkah awal, perlu diperjuangkan landasan hukum dibentuknya Provinsi Cirebon.
Manifes yang berisi enam butir pernyataan itu juga memberikan jaminan politik bagi keamanan aset dan investasi asing yang berada di wilayah Cirebon, baik sebelum atau sesudah menjadi provinsi. Di samping itu juga memberikan jaminan politik bahwa pembentukan Provinsi Cirebon tetap dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45.
REFLEKSI dari wacana Cirebon menjadi provinsi itu memang belum ada gema yang memberi harapan. Artinya, harapan itu memang masih terlalu dini untuk dicapai apalagi manifes yang dikeluarkan Ketua DPRD Se Wilayah III Cirebon itu belum juga menjadi wacana di tingkat pusat.
Rasanya persoalannya bukan terletak pada setuju atau tidak setuju Cirebon menjadi provinsi, tetapi lebih pada realitas dari kondisi Cirebon itu sendiri. Ya, realitas yang akan menentukan layak tidaknya Cirebon sebagai provinsi.
Menilik realitas Cirebon rasanya tidak bisa hanya melihat Cirebon sekarang, tetapi sejarah kultur juga merupakan alat untuk memandang Cirebon secara menyeluruh. Artinya, kekuatan Cirebon tidak hanya dipandang dari segi sosial ekonomi belaka namun perjalanan sejarah akan menjadi spirit yang kuat kehendak Cirebon menjadi provinsi bukan sekadar emosional.
Dalam sejarahnya Cirebon adalah bekas ibu kota kerajaan besar yang kekuasaannya meliputi seluruh wilayah Jawa Barat. Kerajaan yang didirikan oleh Sunan Gunungjati (1479-1568) merupakan kerajaan pusat pengembangan Islam di Jabar.
Meskipun sebagai pusat kerajaan Islam Keraton Cirebon merupakan kerajaan yang terbuka. Secara turun-temurun mulai dari Sunan Gunungjati sampai Sultan Sepuh Hasanudin (1786-1791), kerajaan ini selalu menjalin hubungan antar bangsa baik dalam hubungan dagang maupun politik.
Bukti keterbukaan itu masih terlihat sampai sekarang di situs Keraton Kasepuhan Cirebon. Di dinding-dinding singgasana keraton banyak ditempel panel-panel keramik buatan cina maupun Eropa (Belanda) yang menggambarkan pernik-pernik budaya dua negara itu. Bahkan di dinding itu pula tertempel panel kisah kelahiran sampai penyaliban Yesus Kristus.
Persahabatan antarbangsa juga digambarkan secara nyata oleh Sultan Kasepuhan Cirebon dalam bentuk kereta kerajaan yang berbentuk binatang buroq yang bermahkotakan naga dan berbelai. Itu simbol persahabatan antara Cirebon, Cina, Arab, dan India yang beragama Hindu.
Di samping negara yang terbuka Cirebon waktu itu sejak Sunan Gunungjati sudah mengenal tata pemerintahan dan jabatan-jabatan dalam struktur pemerintahan yang jelas. Masyarakat kecil yang jumlahnya 20 somah dipimpin oleh Ki Buyut. Beberapa Ki Buyut dipimpin oleh seorang Kuwu, beberapa Kuwu dipimpin oleh Ki Gede, dan beberapa Ki Gede dipimpin oleh bupati adipati atau Tumenggung.
Masing-masing pejabat diberi gaji tanah (palungguhan) yang ukurannya sesuai dengan jabatannya masing-masing. Pada awal-awal abad ke-5 sampai pada akhir abad ke-17 di Jawa Barat banyak bermunculan kerajaan-kerajaan kecil. Meskipun tetap di bawah Kerajaan Pajajaran (Hindu) dan di bawah Kerajaan Cirebon (Islam) setelah abad 15 kerajaan-kerajaan kecil itu bersifat otonom.
Di wilayah Cirebon saja sebagaimana diungkapkan RH Unang Sunardjo SH dalam bukunya Masa Kejayaan Kerajaan Cirebon mencatat ada tujuh kerajaan yaitu Kuningan Talaga dan Rajagaluh (Majalengka), Wanagiri (Palimanan), Surantaka (Kapetakan), Sing Apura (Cirebon Utara), dan Astana Japura (Cirebon Timur).
Dari sisi ini wong Cirebon tempo dulu cukup berpengalaman dalam hal tata pemerintahan. Pengalaman sejarah ini sangat berharga sebagai pendorong impian Cirebon untuk menjadi provinsi.
TEMPO dulu wong juga berpengalaman dalam mengelola pelabuhan. Masa Kerajaan Pajajaran berkuasa, Pelabuhan Cirebon merupakan andalan pemasukan kekayaan bagi Kerajaan Pajajaran. Karena itu
Kerajaan Pajajaran yang waktu itu dipimpin Prabu Siliwangi pada sekitar abad ke-15 menempatkan Ki Ageng Tapa sebagai administratur Pelabuhan Cirebon yang waktu itu disebut sebagai Pelabuhan Muara Jati.
Kemasyuran Pelabuhan Muarajati sebagai pelabuhan internasional makin berkembang saat Raden Walang Sungsang putra Prabu Siliwangi dari istri yang bernama Nyi Mas Ratu Subang Larang (anak Ki Gede Tapa) memutuskan untuk pergi dari Istana Pajajaran dan ingin menetap di Cirebon.
Raden Walang Sungsang yang akhirnya dianugerahi pangkat bupati oleh Prabu Siliwangi bukan saja membesarkan keramaian pelabuhan Muara Jati tetapi dia pula yang mendirikan cikal bakal Kerajaan Cirebon ditandai dengan mendirikan Pakuwon Pakungwati yang kemudian bergelar sebagai Adipati Cakrabuwana.
Langkah yang dilakukan Raden Walang Sungsang dalam mengelola Pelabuhan Muara Jati waktu itu di antaranya adalah membentuk satuan penjaga keamanan untuk mengamankan Pelabuhan Muara Jati yang semakin ramai. Langkah ini diteruskan oleh Sunan Gunungjati yang belakangan menerima penyerahan Pakuwon Pakungwati dari Cakrabuwana untuk dijadikan sebuah kerajaan Islam dengan menantang Prabu Siliwangi yang beragama Hindu.
Kalau kondisi Cirebon sekarang berkebalikan terutama kondisi pelabuhannya yang sepi dari order, bukan berarti Cirebon tidak boleh menggeliat untuk melihat kebesaran masa silamnya untuk bermimpi menjadi provinsi sendiri. (Th Pudjo Widijanto)